Minggu, 24 Juli 2011

HOW HIGH




Konon dalam perseteruan melawan Vietkong, Amerika memerlukan berton-ton suplai mariyuana atau ganja untuk menetralisir depresi tentaranya yang selalu dihadapkan kejadian tragis saat melakukan perang gerilya di hutan. Tidak seperti tentara Amerika, tidak pula seperti Bodhi --seorang tokoh dalam novel Dee Supernova yang memanfaatkan mariyuana sebagai alat untuk membiayai avontourirnya--, Jamal dan Silas, tokoh dalam film How High lebih dari itu. Mereka menggunakan ganja sebagai "ritual" yang menjadi triger (pemicu) kemunculan ilham-ilham seputar jawaban pertanyaan final exam (ujian akhir) di senior high school-nya.
Bermula dari kesukaan menghisap ganja, Jamal dan Silas bertemu dalam sebuah mobil yang kacanya ditutup rapat. Mereka menghisap ganja hingga mobil yang mereka tumpangi terlihat seperti terbakar, lalu muncullah hantu Ivory.
Ivory adalah juga orang kulit hitam seperti halnya Jamal dan Silas. Ia teman baik Silas, sama-sama pecandu ganja dan pecandu wanita. Dikisahkan bagaimana Ivory mati sesaat setelah bertemu dengan teman baru yang menolak kencan dengan alasan rambut Ivory jelek dan di dahinya terdapat tanda --yang meski dikatakan Ivory sebagai tanda Budha tetapi teman kencannya mengatakan tanda itu sebagai tanda Budha buang air--. Maka, Ivory-pun kecewa berat. Untuk menghilangkan kekecewaan, dia menghisap ganja yang diberi Silas padanya.
Ivory tertidur sambil menonton televisi, sementara ganja yang ada di tangannya masih menyala. Kecerobohan membawa petaka. Lintingan ganja jatuh dari tangan, membakar baju dan seluruh tubuhnya. Ivory terbangun dalam kobaran api. Ia kalut, lalu terjun dari apartemennya hingga menghantam aspal. Beberapa menit kemudian Ivory siuman. Betapa terkejutnya ketika menyadari bahwa peristiwa yang dialaminya tidak membuat Ivory mati. Ia berteriak "saya masih hidup!". Sialnya, sebuah mobil datang menghantam dan menggilas Ivory sampai mati.
Untuk mengenang Ivory --dalam kesedihannya--, Silas mengkremasi tubuh Ivory hingga menjadi abu. Kemudian abu itu ia campurkan dengan tanah --medium tempat tanaman ganja kesayangannya tumbuh. Dua bulan kemudian tanaman ganja Ivory menjadi rindang.
Setelah bertemu dengan Jamal di dalam mobil, Silas menyadari bahwa hantu Ivory akan muncul seandainya mereka menghisap ganja. Kemunculan Ivory membawa keberuntungan. Dalam mabuknya mereka menjadi pintar, mengetahui jawaban ujian tanpa perlu berfikir keras seperti halnya orang lain.
Pengumuman penerimaan tiba, Jamal dan Silas menduduki peringkat pertama dan kedua di seluruh Amerika. Maka prestasi tersebut menjadikan mereka sebagai orang yang paling diharapkan di seluruh universitas di Amerika. Jamal dan Silas bebas memilih masuk universitas manapun. Bahkan, satu persatu public relation setiap universitas, datang ke rumah menawarkan institusinya disertai dengan embel-embel yang sekiranya akan membuat mereka memilih universitas yang ditawarkan. Maka, Jamal dan Silas pun menjatuhkan pilihannya pada universitas Harvard.
Awal kemunculan mereka --di salah satu perguruan tinggi paling terkenal di Amerika-- menimbulkan bencana bukan saja bagi teman-teman sekamarnya, tetapi juga bagi universitas. Awal masuk ke ruang perkuliahan, mereka sudah membuat seorang mahasiswa dikeluarkan akibat keisengan Jamal dan Silas memaki-maki dosen --yang disangkanya di ucapkan oleh mahasiswa yang dikeluarkan tersebut.
Onar mereka buat mulai dari menghisap ganja hingga asrama berasap, meracuni temannya menonton film porno, menghancurkan patung, mencampurkan ganja ke dalam brownies sampai mengundang pelacur di pesta penerimaan siswa baru. Meski bandel tak tertolong, Jamal dan Silas selalu lulus ujian dengan nilai terbaik: A. Dalam hal ini Ivory-lah yang memegang peranan. Dia selalu muncul saat Jamal dan Silas mengikuti ujian (tentunya setelah mereka mabuk ganja).
Satu saat --ketika pesta dilangsungkan di asrama-- seorang mahasiswa yang ditugaskan mengawasi gerak-gerik kedua orang mahasiswa bandel itu datang sembunyi-sembunyi ke pesta. Ia masuk ke dalam kamar Jamal dan Silas, lantas menemukan pot ganja Ivory yang rindang. Ia terkejut. Sebelum melaporkannya ke pihak universitas, "ruh" Ivory yang berubah menjadi asap masuk ke dalam hidungnya kemudian merasuki agar mahasiswa --yang pernah dijahili Silas-- membawa tanaman ganja Ivory. Ia membawa tanaman ganja ke dalam kamarnya, mencobanya hingga tanaman ganja Ivory menjadi gundul.
Hilangnya tanaman ganja Ivory menjadi bencana bagi Jamal dan Silas. Mereka putus asa. Tetapi meski kehilangan Ivory, semangat mereka segera datang kembali. Jamal dan Silas menggiatkan belajar sambil menghisap ganja (bukan ganja Ivory) dan nilai ujian yang mereka dapatkan: F. Jamal dan Silas ketakutan, nilai F bukan saja akan menghancurkan --tetapi menjadi penentuan apakah mereka akan dikeluarkan atau tidak-- seandainya dalam ujian ke depan Jamal dan Silas mendapatkan nilai yang buruk lagi. Puncak kekhawatiran dan kekonyolan itu terlihat ketika Jamal dan Silas menggali kuburan presiden Amerika Benjamín Franklin demi mendapatkan efek yang sama dengan ganja Ivory –(efek yang membuat mereka berada di Harvard). Jasad presiden Amerika itu mereka angkut ke asrama, tangannya mereka potong dan dimasukan ke dalam mixer (sebelum dimasukan kedalam racikan ganja). Tentu saja apa yang mereka lakukan tak berhasil. Tetapi akhirnya, mereka dapat mempertahankan kuliah di Harvard setelah sungguh-sungguh belajar dan memperbaiki nilai botani mereka.
Akhir film How High menjadi tak bermakna, sebab sin ending story-nya menceritakan, bagaimana mereka berhasil membuat racikan seks untuk profesor botani dan bong raksasa (alat menghisap ganja) hingga membuat seluruh orang di perayaan kedatangan wakil presiden, mabuk!. Namun, disamping buruknya dampak mabuk-mabukan, serta seks bebas bagi manusia—, ada makna yang dapat kita ambil dan pelajari dari film ini bahwa : tidak ada jalan pintas untuk meraih kesuksesan.
Saya teringat akan beberapa hal ketika anak-anak muda seusia kita di masanya orangtua kita dulu membakar buku ujian, menjadikannya sebagai abu kemudian mencampurkannya ke dalam air kopi untuk diminum dengan harapan mereka akan mendapat nilai ujian yang baik, atau bahkan datang ke paranormal yang mampu mengisi tinta pulpen dengan jin yang tak akan salah memilih pilihan ganda, hingga membuat kertas contekan, memasukannya ke dalam kerah, atau menyempilkannya ke dalam lipatan rok serta kaus kaki.
Sebenarnya, di dunia ini tidak ada jalan pintas. Segala sesutu harus melewati tahapan, ada kaídah kausalitas atau kaídah sebab akibat yang harus dijalani dan dipelajari demi menggapai kesuksesan. Jika kita ingin lulus ujian, jawabannya simple saja, belajarlah dengan tekun!. Kita pasti bisa!, sebab tak ada manusia yang bodoh di dunia ini. Manusia hanya malas menggali potensi dirinya (tentu kasusnya berbeda dengan orang lemah mental atau orang yang gila sejak lahir).
Setiap manusia diberikan potensi untuk menjadi pintar. Sebuah buku menginformasikan, bahwa potensi akal manusia sedemikian dahsyatnya hingga dikatakan, Einstein yang demikian cerdas baru memanfaatkan 15% kapastitas otaknya, dan pada umumnya manusia baru menggunakan hanya 5% otaknya saja. Sayang sekali, jika kita tak mampu memaksimalkan potensi akal kita, apalagi jika malah mempergunakan yang 5% itu untuk hal-hal yang buruk. Bukannya memanfaatkan masa muda untuk berkarya, malah minum-minuman keras, mencandu heroin, putau dan menghisap ganja. Ah!, anak muda tidak seperti itu. Bangkit! Ayo bangkit!! manusia membutuhkan seorang muslim seperti kita untuk dijadikan sebagai pemimpin dunia!!!

BUKU ADALAH PETA


Saat Anda menjual --atau meminjamkan-- buku kepada seseorang,
Anda tidak menjual –atau meminjamkan—kepadanya 12 ons kertas, tinta, dan lem
-- Anda menawarkan suatu kehidupan yang sama sekali baru.
(Christopher Morley)


Haik! Novelnya tebal! hingga bisa dicungkil sedalam mungkin agar --teroris seperti saya--, dapat menempatkan pistol yang akan digunakan untuk menembak kepala George W Bush yang batu! Memungkinkan pula –novelnya-- digunakan untuk melempar orang fasis atau anjing pitbull sampai mati. Musashi!, sebuah magnum opus karya Eiji Yoshikawa yang mendapatkan tempat di hati pecinta buku beberapa dekade silam. Sebuah “kitab suci” psikologi yang memberikan pencerahan kepada tokoh-tokoh spiritual seperti Gede Prama dan Sindunatha.
Dahulu novel Musashi terdiri dari jiid-jilid kecil tetapi --ketika saya mengaksesnya di tahun 2002--, ketebalan novel itu sungguh menakutkan bagi siapapun yang sedikit anti membaca. Bagi saya, menamatkan novel Musashi merupakan suatu pencapaian ambisius prestisius. Membaca Musashi seperti halnya memasuki pusaran waktu. Seperti masuk ke dalam sebuah noktah hitam di penghujung umur alam semesta.
Maka, setelah menyengajakan diri terserap kedalamnya, saya keluar menuju kehidupan nyata. Tiba-tiba! –dalam beberapa hari, kehidupan ini menjadi begitu menakjubkan. Saya merasakan betapa kuatnya pengaruh novel yang saya selesaikan selama 7 hari itu. Ketika berjalan-jalan menuju sebuah air terjun tertinggi di Bogor, saya menghayalkan keindahan alam berupa makro kosmos (alam semesta) dan keindahan mikro kosmos (petani yang bercocok tanam, rumah-rumah beratap rumbia dan tegalan yang masih basah oleh hujan) seolah-olah memiliki ruang waktu yang sama ketika Tokugawa berkuasa. Padahal ini indonesia! Padahal ini abad sekarang.
Mungkin kalian merasakan bahwa pernyataan saya terlalu diluap-luapkan. Tetapi, saya tidak melakukan bombastisme. Tanyakanlah pada orang yang pernah membaca Musashi, bagaimana tanggapan mereka, bagaimana perasaan mereka, bagaimana buku itu mendidik mereka? Tanyakanlah! dan kalian akan mendapatkan jawaban yang sama meski secara tekstual berbeda. Percayalah, bahwa saya tidak ikut multi level marketing (MLM) penerbitan yang menerbitkan Musashi. Saya hanya ingin berbagi rasa dengan kalian. Aha!
Di remang senja yang memukau, seorang pemuda masuk di kehidupan saya. Dalam pertemuan itu, kami bercerita cas-cis-cus tentang segala hal --termasuk tentang dirinya dan tentang kecintaan saya terhadap dunia buku. Dan manakala dalam perbincangan itu ia berkata “Ini realita man! bukan dunia khayal! Untuk apa membaca buku? toh kita bisa mendapatkannya di kehidupan nyata!” maka terkutuklah ia!
Ting! Hening. Sunyi. Suara gelegar petir dahului cahaya --karena seumur hidup, supersonik tidak akan pernah dikalahkan oleh cahaya. Dan merahnya cahaya muka, mendahului luap kemarahan yang akan saya ungkapkan lewat suara --setelah ia menyepelekan saya.
Kalian tak perlu mengetahui bagaimana saya marah bilamana berhadapan dengan orang yang sombong itu (sebab marah saya menakutkan!). Saya hanya akan menjelaskan bagaimana fungsi sebuah buku dalam kehidupan, agar kita tidak menyepelekan buah pemikiran orang lain --seperti halnya yang dilakukan teman saya itu.
Sewaktu cilik, manakala hidung masih meler-meler ingusan (saya tidak!)— ibu kalian pasti pernah bercerita tentang sosok buaya. Begitu halnya dengan orangtua zaman dulu saat memberikan pengajaran mengenai unsur alam kepada anaknya --menggunakan bahasa. Salah satunya, mereka berusaha membahasakan bentuk buaya (yang si Rob suka!). Bahwa buaya bentuknya memanjang, mulutnya lebar, giginya lebih tajam dari kapak batu yang dipakai menguliti armadilo; bahwa buaya berbuntut dan bersisik tebal. Mereka berusaha merekonstruksi bagaimana sifat-sifat buaya yang jahat, yang suka berguling-guling, yang suka menyelam dan diam di sungai seperti patung.
Apa yang terjadi ketika “anak purba” bertemu sosok mahluk yang pernah di ceritakan orangtuanya? Meski baru pertama kali bertemu, --seandainya ingat akan nasihat orangtua--, tentu “anak purba” itu akan lari pontang-panting mencari tempat perlindungan yang aman. Dan selamatlah satu orang anak manusia dari struggle of the fittes (perjuangan mempertahankan hidup) melawan buaya.
Sun Tsu. Seorang ahli filsafat perang masyhur! Ia dilahirkan di negeri Cina yang memiliki kondisi geografis beragam. Dalam zaman peperangan yang berlangsung di negerinya, Sun Tsu membuat sebuah petunjuk praktis ketika melakukan peperangan di gurun, padang savana, tundra, dataran bersalju, gunung kapur, sungai dan danau. Ia memetakan kondisi geografis, memaparkan kelemahan dan kelebihan dataran tersebut. Pengamatan dan pencatatannya terhadap kondisi serta potensi alam --untuk memenangkan perang--, mengangkatnya menjadi seorang mahaguru filsafat perang sepanjang masa.
Filsafat perang Sun Tsu menjadi penting ketika seorang panglima sebuah pasukan tempur mengalami kehilangan arah saat berada di sebuah belantara pegunungan yang belum dikenalnya. Dalam situasi seperti ini --musuh yang telah lebih dahulu menguasai daerah tersebut--, akan mudah memukul mundur pasukan tempur sang panglima. Tetapi kejadiannya akan berbeda manakala sang panglima terlebih dulu mempelajari peta belantara pegunungan serta bagaimana cara menghadapi pasukan musuh seperti yang diajarkan Sun Tzu. Peta! Ini kuncinya.
Selaku mahluk, manusia memiliki keterbatasan indera. Ia tidak bisa menjangkau seluruh fenomena dalam satu jangka waktu yang sama. Manusia membutuhkan deskripsi fenomena melalui bahasa yang disampaikan manusia lain --yang pernah mengalaminya. Hal itu dilakukan agar --nantinya-- ketika manusia menemukan kecocokan sebuah fenomena yang baru ditemuinya --dengan apa yang pernah disampaikan manusia lainnya melalui bahasa-- maka ia akan mudah menentukan sikap.
Begitu halnya dengan buku. Buku adalah petunjuk oral yang dipenjarakan dalam setumpuk kertas. Buku adalah pemetaan sebuah fenomena. Bahasa yang ada di dalam buku, merangkaikan kata menjadi gugusan kalimat, yang pada klimaksnya memuncakkan sebuah makna mengenai kehidupan. Makna (baca : hikmah) yang inheren didalamnya, merupakan peta penjabaran realita yang sudah --ataupun akan-- kita hadapi di kehidupan sehari-hari.
Dalam novel Musashi saya mendapatkan pemetaan kondisi manusia yang dituliskan Eiji Yoshikawa mengenai: jika manusia memiliki keselarasan antara hati dan fikirannya maka ia akan menjadi individu yang berkarakter. Individu yang merdeka! Waktu dulu saya berusaha merenungi makna yang terkandung di dalam novel Musashi itu. Saya memikirkan itu selama setahun. Waktu bergulir. Saya dihantam berbagai macam sinisme dalam bentuk ucapan. Karakter saya dibunuh hanya karena saya --yang katanya aktivis-- tak menggunakan kemeja dan celana bahan. Kata mereka, “Dandanan lu kayak anak metal, mirip anak underground, serupa dengan dandanan anak buahnya Che Guevara. Munafik loe!”. Di hantam dari kanan kiri, depan belakang, atas bawah, mengakibatkan saya goyah dan tertarik untuk memakai kemeja, juga celana bahan selama beberapa saat.
Perenungan mulai berjalan. Saya kembali mengingat pemetaan kondisi manusia yang terkandung dalam novel Musashi mengenai: jika manusia memiliki keselarasan antara hati dan fikirannya maka ia akan menjadi individu yang berkarakter. Individu yang merdeka! Karena makna yang terkandung dalam novel itulah saya mulai mempertanyakan: apakah saya sudah merdeka jika saya masih bisa dipengaruhi oleh anggapan orang lain --mengenai cara berpakaian saya, yang sebenarnya tidak keluar dari konteks hukum syara (menutup aurat)?
Ternyata saya belum merdeka! Ternyata antara hati --berupa keinginan untuk berpakaian apa adanya--, dengan pemikiran --bahwa pakaian yang dipakai, bisa model apa saja, asal menutup aurat-- tidak terjadi keselarasan. Saya akhirnya menjadi budak anggapan orang. Mau tidak mau, sejak saat itu saya mulai belajar memerdekakan diri! Dengan satu keyakinan, bahwa sejahat apapun anggapan orang, toh! anggapan itu tak akan membuat saya mati terjongkang-jongkang.
Bagaimana jadinya jika saya tak pernah membaca Musashi? Jika saya tak sempat mengkaji pemetaan kondisi manusia? Saya beranggapan bahwa belum tentu, saya dapat keluar dari prasangka, yang akhirnya menghantarkan saya menuju krisis pesonality . Jika saya tak pernah mengkaji pemetaan itu, mungkin perkembangan kemerdekaan diri saya menjadi terlambat. Lantas apakah dengan membaca Musashi, saya sudah merdeka sepenuhnya? Kamu fikir ya!?
Dalam membebaskan diri dari anggapan orang lain --mengenai cara berpakaian-- maka saya telah merdeka. Tetapi di sisi lain ternyata tidak! Kalau kamu cermati --dalam kasus-- ketika saya menyesalkan sikap teman dalam menyepelekan keberartian sebuah buku maka --seandainya jeli--, kalian akan merasakan percampuran antara egosentrisme dan harga diri di sana.
Ketika teman saya menyepelekan buku, secara tidak langsung --saya merasa-- disepelekan. Dalam kasus itu, saya berfikir bahwa saya belum merdeka dari omongan. Saya merasa terganggu! Saya merasa direndahkan! Saya merasa ego dan harga diri saya diusik! Dan saat ini saya merasakan, betapa lemahnya emosi saya waktu itu. Tetapi itulah proses kehidupan. Itulah proses kesadaran mengenai ketidak-berartian dan kelemahan manusia, di tengah konstelasi unsur alam semesta. Karena kehidupan adalah proses pembelajaran mencapai kesempurnaan. Karena kehidupan adalah proses perjalanan menuju sumber keagungan dan kebijaksanaan.

Selasa, 12 Juli 2011

Perusak BUMI

Kupikir ga masuk akal klo kita bisa enjoy duduk di kursi yang udah rusak, juga ga masuk akal klo kita bisa nyantai duduk di atas panggangan yang di bawahnya bunga api menjilat kesana-kemari. Bener-bener ga masuk akal. Tapi se-ngga masuk akalnya hal-hal itu, toh sebagian besar manusia di muka bumi ini ngelakuin hal tersebut!?

Bayangin nih (kita langsung ngomong serius ya), klo angka deforestasi atau pelenyapan hutan lindung tetap aja berkisar antara 1,6 sampe 2 juta hektar tiap tahun, maka hutan lindung Indonesia yang sekarang cuma bersisa 20 juta hektaran bakal HABIS ga besisa! cuma dalam waktu 10 tahunan lagi. Bayangin, 10 tahun lagi hutan kita cuma tinggal kenangan. Dan lihat, apa yang kita semua lakuin, kita masih berkutat dengan gebetan baru, fashion model mutakhir --mungkin fashion model plastik es yang dililit-lilitkan di badan or rok mini yang cuma sejengkal dari pinggul--, atau kita malah mikirin gimana cara asyik tidur siang.

Gini, ada juga fakta tentang beberapa (jumlahnya cuma puluhan lho…!) perusahaan tambang yang merampok sumber daya alam kita di siang bolong, mengangkutnya ke negeri asal mereka, membuat mereka kaya-raya sampe perut mereka buncit dan cuma menyisakan penderitan bagi penduduk serta kerusakan yang amat besar bagi bumi kita tercinta.

Penderitaan bumi dan manusia yang ga bakal bisa terobati meski berpuluh tahun lagi. Lalu apa yang kita lakukan di saat yang sama?! Mungkin cuma ribut-ribut wakil rakyat di mimbar diskusi hanya untuk mastiin angka besar buat dana kesejahteraan mereka, atau malah mikirin proyek mana yang dananya bisa dikorupsi, atau lagi bikin contekan buat final test. Asik banget bukan? Kita seperti berjalan sambil cengar-cengir di jalanan yang didepannya ada jurang menganga dan kita ga sadar atau malah pura-pura ga sadar supaya ga diliputi rasa cemas.

Artikel ini cuma sekadar mengingatkan, bukan bermaksud menggurui karena kealpaan bisa menyerang siapa aja, ga terkecuali aku gitu loh.

Gini, kenal sama Rio Tinto? Rio de Janeiro kali, itu mah gue tau. Iya, Riologi juga gue tau, pelajaran waktu SMU dulu jurusan IPA. Yap, sip, ke belakang sana cuci muka. 

Rio Tinto man, Rio Tinto! Setahuku neeh, Rio Tinto adalah korporasi kapitalis internasional yang sangat besar yang spesialisasinya mengeruk sumber daya alam di muka bumi. Aku ga tau kapan korporasi ini berdiri, namun untuk Indonesia sendiri, Rio Tinto sudah menancapkan kuku tajamnya mengerik bahan galian tembaga, emas, nikel kita sejak tahun 1967, sejak rezim Soeharto mengizinkan Penanaman Modal Asing (PMA). Rio Tinto beraksi melalui PT. Freeport Indonesia yang udah lebih dari 40 tahun membuat kesengsaraan buat suku Amungme dan 7 suku lainnya di sekitar pertambangan Freeport di Papua. Di berbagai belahan dunia, Rio Tinto juga menari-nari di atas kerusakan alam yang luar biasa akibat aktivitas penambangan mereka tanpa peduli nasib masyarakat yang tinggal di sekitar tambang penggalian mereka2.

Trus, tau sama Suez Compagnie de Eaus, dari namanya pasti yakin ini perusahaan dari Prancis. Korporasi ini ternyata adalah salah satu perusahaan rakus yang mencoba memprivatisasi sumber-sumber air tawar sedunia, nah lo. Bayangin, air minum sedunia mau diambil satu pihak aja, waduh, memohon-mohon dong orang sebumi sama tu perusahaan klo lagi kehausan, padahal minum kan basic need manusia banget

Lalu, tau ama Nestle, Microsoft, Shell or Mcdonalds?! Course we do! Mereka semua adalah korporasi-korporasi paling berkuasa di dunia. Kapitalis sejati yang melalui berbagai cara telah berhasil mempengaruhi kebijakan-kebijakan pemerintah di hampir seluruh negera di dunia bahkan PBB sekalipun untuk mendukung berbagai langkah mereka untuk menjustifikasi aktifitas kapitalis mereka yang jelas-jelas mengancam kelangsungan kehidupan di bumi dan makin menyengsarakan kaum pekerja dan masyarakat adat yang ada di sekitar tempat usaha mereka. Justifikasi-justifikasi tersebut dilakukan melalui berbagai program-program yang kata mereka untuk ‘mereformasi’ industri sumber daya alam dengan dukungan pemerintah, padahal hasilnya masih di sangsikan berbagai pihak.

Selanjutnya, kita bakal ngomongin sandiwara besar yang terjadi di belakang layar. Sandiwara skala global antara korporasi-korporasi tersebut (Rio Tinto, dkk dengan pemerintah, Ornop internasional bahkan PBB) dalam memunculkan berbagai inisiatif berupa program-program rekonstruksi daerah tambang, pemulihan kondisi masyarakat sekitar daerah industri dan juga berbagai program Community Depelopment untuk masyarakat adat, So, simak sandiwaranya berikut ini.

Eng ing eng…….

Ada banyak organisasi Nonpemerintah (ORNOP) atau nama bekennya LSM, nama dugemnya NGOs (Non Government Organizations) di muka bumi ini yang tujuan pendiriannya tentunya sangat idealis, menjadi semacam wadah mengkritisi sekaligus menindaklanjuti hal-hal yang menyimpang dan mengganggu kelangsungan hidup makhluk hidup, pokoknya apa yang diperjuangkan ornop-ornop ini adalah hal-hal yang punya kadar moralitas tinggi, humanis, konstruktif dan sederet konsep positif lainnya.

Tapi ternyata idealitas yang mereka usung pada praktiknya terjadi penyimpangan-penyimpangan dan penyimpangan-penyimpangan yang mereka lakukan justru berhubungan dengan pengkhianatan pada apa dan siapa yang mereka bela dan perjuangkan.

WWF (Word Wide Fund), misalnya, organisasi konservasi dengan anggota terbanyak di dunia ini oleh masyarakat internasional dikenal sebagai ornop yang concern dengan masalah lingkungan hidup. Namun, fakta di belakang layar adalah WWF memberi perhatian penuh terhadap dampak pertambangan sambil ternyata mengasosiasikan dirinya sendiri dengan industri pertambangan tersebut dalam usahanya itu.

WWF diam-diam menerima uang dari Rio Tinto untuk proyek di Madagaskar. WWF Amrik juga dikecam habis-habisan karena nerima 1 juta pertahun dari Chevro/Texaco “salah satu perusahaan minyak terbesar di dunia- untuk bikin proyek kehutanan berkelanjutan di Papua New Guinea, ternyata proyek tersebut melibatkan aktivitas penebangan dan pengapalan pohon-pohon Mangrove “suatu hal yang dilarang negara tersebut. 

Si WWF juga beraliansi sama Shell, padahal tu perusahaan minyak dituduh seluruh dunia atas keterlibatannya dalam penghancuran tanah Ogoni oleh rezim militer Nigeria dan pembunuhan sembilan pemimpin Ogoni3.

Ada juga cerita tentang ornop terkenal lain berjudul CARE International, kawan-kawan pemerhati masalah lingkungan pasti kenal sama Ornop yang satu ini. Ok, ni Ornop diluncurkan tahun 2002 oleh Korporasi-Korporasi multinasional kaya’ BP en Shell. CARE ini punya berbagai kelompok, terkadang disebut sebagai Federasi. Beberapa kelompok CARE yang terbesar berpandangan bahwa mereka bisa bertindak sebagai pemerintahan bayangan di wilayah-wilayah tempat mereka beroperasi, secara halus “atau ga- membengkokkan beberapa peraturan dalam prosesnya.

CARE kaya’nya jadi organisasi pembangunan pertama yang secara langsung bersekutu ama perusahaan tambang. Perusahaan itu adalah Sierra Rutile Ltd (SRL). Di Sierra Leone. Tambang SRL terpaksa ditutup taon 1994 karena terjadi konflik sipil berdarah, sebelumnya CARE Amrik udah gabung ama SRL dalam menyusun dua program rehabilitasi yaitu ECDP (Environment and Community depelopment Project: Proyek pengembangan masyarakat danlingkungan hidup) en SAVE (Suistanable Agriculture and Village Extention Project: Proyek pertanian dan perluasan desa berkelanjutan) yang kedua proyek dikritik habis-habisan4.

CARE Australia tahun 1992 telah menolong Amrik dalam merencanakan operasi militernya yang kemudian jadi bencana di Somalia dengan cara jadi tuan rumah buat 4 tentara Amrik yang terjun dengan parasut ke kota Bajdoa yang udah terkepung.

Keterlibatan CARE di militer juga teridentifikasi taun 2001, CARE Kanada melakukan program OSCE (the Organization for Security and Cooperation In Europe). Organisasi ini berhubungn sama NATO dalam rekrutmen mantan anggota militer dan polisi yang sebagian tugasnya adalah untuk mengidentifikasikan pergerakan pasukan, posisi tank, ladang ranjau dsb.

Taun 1999, anggota masyarakat adat Subanen di Philipina Selatan menuntut agar pemerintah Belanda menarik lebih dari 8 juta dolar Amrik dari program AWASOME yang didanai CARE yang menurut mereka telah melanggar prinsip dari Phillipines Indigenous people Rights Act “UU masyarakat Adat Phillipina taun 1997.

Trus ada juga Ornop Human Rights Watch. Fokus Ornop ini pada msalah HAM. Program ini melibatkan beberapa penyelidikan lapangan termasuk di Grasberg, Papua Barat yang dioperasikan Freeport dalam kurung Rio Tinto “lagi! Mereka sama-sama Amnesti Internasional bikin panduan prinsip-prinsip HAM untuk Freeport-Rio Tinto taun 1999. Kegagalan HRW adalah mereka ga memasukkan hak-hak masyarakat asli yang wilayahnya dieksploitasi oleh perusahaan-perusahaan tambang tersebut sejak taun 1970. Setaun setelah dibuatnya perjanjian tersebut, pelanggaran HAM di Papua Barat justru meningkat5.

Lalu, pelajaran apa yang bisa kita tangkap dari konspirasi antara korporasi kapital rakus, ornop dan pemerintah-pemerintah di berbagai belahan dunia itu? Banyak ya, buatku sendiri yang terpenting adalah kenyataan bahwa para pemilik modal, mbah-mbah kapitalis terkaya di dunia kaya: Rio Tinto --boseen banget ngetiknya--, Shell, BP, Nestle, McDonalds, Newmont, BHP, Microsoft, Unilever dll, yang diantara nama-nama itu ada yang kalian kenal atau tidak tapi emang adalah tempat penumpukan modal --uang tentunya- terbesar di dunia. Klo kita bikin timbangan, uang yang mereka punya mungkin jauh lebih banyak ketimbang seluruh uang di dunia ini. Dengan kekuasaan seperti itu mereka mampu dengan mudah melumpuhkan idealisme para aktivis dan mampu dengan mudah pula bikin inisiatif-inisiatif atau program-program yang kedengarannya dibuat untuk konservasi en perbaikan lingkungan dan masyarakat yang wilayahnya mereka kuasai padahal kenyataannya ga banget. 

Sekali lagi bukti bahwa kapitalisme itu ga nyumbang apapun buat kemanusiaan dan lingkungan hidup, malah ujung-ujungnya mengancam kehidupan kita.

Dan generasi muda muslim, WAKE UP oiiii. Apa ga gosong tu pantat, duduk di atas panggangan, apa ga lecet tuh duduk di kursi rusak. Kenyataan yang dipaparkan di atas juga bisa melahirkan kenyataan berikutnya yang lebih mengerikan dan mungkin udah terjadi meski ga terdeteksi. Bahwa kapitalis itu juga punya rencana besar buat menghancurkan Islam dengan tumpukan modal mereka dengan motivasi-motivasi yang jauh lebih jahat, bahwa kaum kafir ga akan ridho sama umat muslim sampai kita ikut mereka.

SUDAH SIAPKAH KONSEKUENSINYA ?



Pohon itu memiliki batang yang meliuk-likuk. Saya pandangi bunga-bunganya yang jatuh (saya menyebutnya jatuh sebab bunga itu terlalu berat sehingga tidak bisa dikatakan melayang). Ada yang jatuh di atas ijuk gubuk yang menaungi saya; di atas gundukan tanah;  adapula yang terbawa alunan kali kecil berwana kehijauan. Bunga itu berwarna kuning di intinya dan putih pada pertengahan ujung kelopaknya. Bunga yang sering diselipkan muda-mudi di pura, bunga yang menjadi perlambang kematian.
Pekuburan ini memberikan suasana yang nyaman, tidak seperti lapangan yang saya tinggalkan begitu saja. Lapangan yang biasa dijadikan sebagai tempat bermain sepak bola setiap sore atau sebagai arena ketangkasan ketika rombongan sirkus datang memasang komedi putar, atraksi motor-motor pada papan kayu; atau pun bazaar pakaian dan makanan di lain waktu. Lapangan, tempat ke 9 teman saya diharuskan berdiri tegak selama beberapa jam untuk mendengarkan pidato yang saya yakin itu-itu juga. Dari kejauhan suara speaker sampai di teliga saya. Upacara dimulai. Penaikan bendera di hari kemerdekaan Indonesia dilangsungkan. Sementara teman-teman saya dan penduduk dipanggang terik matahari (padahal baru jam 08.00 pagi), saya enak saja tidur-tiduran, membaui wangi bunga kemboja di tempat orang-orang lain sering kesurupan.
Saya memang seperti ini, sewaktu SMA saya lebih memilih melompati pagar seperti maling dan mencari tempat yang aman untuk meminum kopi, bermain judi (sekarang saya anti judi lho) ketimbang mengikuti upacara bendera yang membuat lengan saya pegal karena hormat terlalu lama. Saya malas untuk melihat ke arah tiang bendera yang dapat membuat keringat saya keluar deras sebab arah pancangnya berada di timur, searah dengan terbitnya matahari pagi.
Ingatan itu, selalu membuat saya tergelitik. Apa yang saya lakukan di masa-masa puber –karena sering mangkir upacara bendera—dianggap oleh seorang teman KKN lain desa, sebagai tindakan yang tidak nasionalis. Ketika dia memberikan diorama rentetan peluru seliweran; pemuda-pemudi yang bertelanjang kaki membawa senapan dan bamboo runcing; para pejuang yang mengorbankan kambing piaraan dan lelehan darah untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia, maka saya tidak mungkin menyangkalnya. Bagaimana bisa membantah seorang teman --yang saya ketahui, hampir dalam setiap upacara bendera selalu dijadikan komandan upacara?! (sebab dia anggota pasukan pengibar bendera semenjak SD hingga SMA). Lagipula, pada faktanya saya memang tidak nasionalis.
Jangan dahulu membenci, jangan dahulu menjatuhkan vonis terhadap apa yang saya lakukan. Sebelum kalian bertanya “Apakah saya tidak memiliki alasan apapun untuk mengikuti upacara bendera selain malas?”. Baiklah, mari sini berkumpul. Mari anggap, di sekeliling kita ini bukan beton kamar tapi perkebunan kurma. Nah, saya akan berperan seperti halnya Mush’ab bin Umair ketika membawa missi propaganda dari baginda Rasulullah Muhammad saw. “Apabila engkau anggap, hal yang saya utarakan di depan adalah baik untuk kesehatan pikiran maka silahkan terima; dan jika tidak baik, maka engkau boleh meninggalkannya”.
“…”
Masih mau mendengarkan? Masih ber-syak wa sangka? Tidak?! O…kalau begitu terima kasih. Mari saya utarakan, apa sebab saya bertindak-tanduk tidur di kuburan, ketimbang mengikuti upacara bendera di hari kemerdekaan yang gempita. Untuk jelasnya saya akan utarakan mengenai definisi Nasionalisme. Harap dimaklumi jika penjelasan saya ini sedikit membosankan karena membutuhkan konsentrasi yang tinggi.
Mulai!.
Pada mula rupanya (nasionalisme) diawali dari keruntuhan imperium Romawi. Semula, dinyatakan Ensiklopedi Pustaka Time Life, berjudul Kelahiran Eropa, Romawi merupakan kesatuan utuh yang tidak terbagi. Namun dalam perjalanannya, imperium tersebut senantiasa  direpotkan oleh serangan-serangan bangsa “Barbar” dari Jerman (suku bangsa Visigoth, Ostrogoth, Vandal, Goth). Bangsa-bangsa Barbar yang para lelakinya gemar menggunakan mentega di rambutnya --agar keliatan ganteng--; bangsa barbar yang wanitanya memiliki mata biru dan berambut itu, melakukan serangan gencar dengan formasi acak tak takut mati (baji) ke arah imperium Romawi bagian Barat.
Karena Romawi Barat merasakan desakan bangsa barbar semakin menguat dan membahayakan, maka Konstantinus sang kaisar membuat manuver politik: membagi Romawi menjadi dua, Romawi Barat dan Timur demi membagi kekuatan militer untuk mejaga kesatuan wilayah. Sayangnya, pembagian itu tidaklah menguatkan kembali. Tetapi malah, menimbulkan dampak merugikan untuk imperium Romawi.
Kekaisaran Romawi bagian Barat melemah!. Terobosan militer bangsa-bangsa Jerman, yang memang memiliki kegemaran berperang, akhirnya menimbulkan dampak kekisruhan yang membawa dampak keruntuhan. Romawi secara keseluruhan hancur, tetapi wilayah timurnya perlahan-lahan mengasingkan diri dan membuat peradaban baru yang dikenal dengan peradaban Byzantium dengan ibukota Konstantinopel selama lebih dari seribu tahun ke depan.
Usai menghancurkan Romawi, suku bangsa Jerman merubah geopolitik di bekas kekuasaan Romawi Barat. Peta imperium Romawi digantikan dengan peta-peta baru yang pemisahan wilayahnya (teritorial) didasarkan pada asal bangsa, kesamaan bahasa yang melakukan ekspansi. Pemetaan inilah yang memunculkan Eropa baru Eropa yang semula dalam bentuk imperium besar menjadi bentuk-bentuk negara suku bangsa (nation state).
Setiap konsep yang ada di dunia ini pasti memiliki alur sejarah yang memiliki tonggaknya sendiri. Mengenai nasionalisme, bisa jadi telah muncul sebelum keruntuhan imperium Romawi. Akan tetapi, tonggak kemunculan-nya adalah ketika Romawi Barat dikuasai suku-bangsa Jerman hingga dianggap sebagai awal kemunculan nasionalisme.                          
Apa kaitan sejarah nasionalisme dengan saya yang tidak nasionalis?! Untuk mempermudah pembahasan yang nantinya akan saya lantaikan (floor-kan, maksudnya) saya harus mengorek-ngorek fakta pada zaman yang sama ketika Kekhilafahan (negara Islam) muncul di jazirah Arabia, bersanding dengan kemunculan negara nasionalis di bekas imperium Romawi Barat.
Pada saat Eropa dipeta-petakan ke dalam negara-negara suku-bangsa, masyarakat negara Islam yang dipimpin oleh Rasulullah terdiri dari beraneka ragam keyakinan, ras dan bangsa. Masyarakat dalam negara Islam tidak dibedakan berdasarkan suku bangsanya, tidak dibedakan berdasarkan bahasanya. Selama berada di dalam kekuasaan negara Islam, maka mereka adalah masyarakat negara Islam.
Menjelang Rasulullah wafat, kekuasaan kekhilafahan Islam menyebar menuju reruntuhan Romawi. Di masa Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali hingga sampai pada penaklukan sekaligus penyatuan wilayah konstantinopel (negara Byzantium) melalui serangan Muhammad Al-Fatih pada tahun 1453. Tak peduli penduduknya berbahasa apa, dan bersuku bangsa apa, pokoknya disatukan dalam Kekhilafahan.
Dari sini saya megambil kesimpulan bahwa negara Islam bahkan konsep Islam tidak mengenal paham negara kebangsaan (nasionalisme). Masuknya nasionalisme ke dalam dunia Islam berawal ketika pusat Kekhilafahan di Turki --yang memang sudah lemah untuk mengontrol wilayahnya,-- mengalami kegoncangan yang –salah satu di antaranya-- diakibatkan oleh gerakan Turki Mudanya Kemal Pasha yang nantinya dikenal dengan nama Attaturk. Kemal Pasha mengawali revolusinya dengan memberi baju kebangsaan dan mengakhirinya dengan melenyapkan Kekhilafahan. Dan pada tanggal 3 Maret 1924 hancurlah sistem pemerintahan Islam yang sudah berdiri merentang selama lebih dari 13 abad , setelah Kemal Pasha mengeluarkan maklumat Komite Nasional. yang berisi : penghapusan Kekhilafahan, mengusir Khalifah dan menetapkan pemisahan agama dari negara (2000:313).
Sejak keruntuhan Kekhilafahan, satu-persatu negeri-negeri Islam membebaskan diri dari cengkraman penjajahan dengan mengatasnamakan kekuatan bangsa. Siria, Iraq, Libanon, Palestina, Mesir, Indonesia, Arab yang semula berada dalam wilayah Kekhilafahan, memerdekakan diri dan memproklamirkan diri sebagai negara bangsa. Negeri-negeri Islam yang semula satu kini menjadi terpecah menjadi puluhan negara bangsa. Jadi, menurut pemahaman saya, nasionalisme itu tidak ada di dalam pemahaman Islam, sebab berdasarkan telusur sejarah memang negara Islam (Kekhilafahan tidak mengenal negara bangsa).
“Interupsi!”
“Silahkan”
“Bukankah di dalam Al Quran terdapat ayat yang menceritakan kita diciptakan bersuku-suku bangsa?!”.
Ya, tetapi apakah ayat itu menitahkan manusia untuk membentuk suatu negara bangsa? Tidak kan?! Ayat tersebut hanya mengutarakan fakta bahwa manusia berasal dari beragam suku bangsa. Dan keanekaragamaan tersebut merupakan keindahan agar manusia saling memahami dan mengerti arti keindahan Allah yang dituangkan dalam keanekaragaman penciptaan suku bangsa.”
“Ya… bagaimana ya…? Tapi kan ada istilah yang mengatakan hubbul wathan minal Iman? bahwa mencintai tanah air merupakan sebagian dari iman? Bukankah Rasulullah mencintai tanah airnya?”.
Rasulullah Muhammad memang mecintai tanah airnya. Bahkan, dalam hijrah menuju Madinah beliau merasa berat untuk meninggalkan kota kelahirannya: Mekah. Tetapi apa yang dilakukan Rasulullah tidak bisa dijadikan justifikasi diadopsinya negara yang didasarkan pada paham kebangsaan dalam konsep kenegaraan Islam. Semua manusia berhak menyatakan kecintaannya pada tanah air, semua berhak menyatakan dirinya berasal dari suku bangsa tertentu. Saya berhak mengatakan abdi teh urang Sunda (saya orang Sunda), Tulang dari Batak, sampeyan dari Jawa Timur, kaban dari Palembang. Kita berhak mengakui asal bangsa dan dan mencintainya. Akan tetapi, ketika paham kesuku-bangsaan tersebut dijadikan pengikat antar manusia dalam sebuah negara, maka yang akan terjadi adalah chauvinistic terselubung yang secara gamblang di pertontonkan oleh negara fasis Jerman, Italia, dan Jepang pada perang Dunia ke-II.
Lagipula, jika kita melihat fakta saat ini, ternyata nasionalisme kontraproduktif dengan kekuatan umat Islam. Nasionalisme dalam dunia Islam membuat satu muslim dengan muslim lain --yang memiliki kebangsaan berbeda—bisa saling berseteru. Bukankah pertikaian antara Indonesia dan Malaysia pada tahun 1960-an terjadi karena Nasionalisme yang juga dipicu oleh anggapan bahwa Malaysia merupakan antek imperialis, negara boneka Inggris dan Amerika?!
Nasionalisme merupakan biang keladi atas matinya empati penderitaan kaum muslimin di berbagai belahan dunia. Hanya karena kita berbeda teritori, apa yang terjadi di Palestina dianggap sebagai permasalahan luar negeri Indonesia. Meski ada simpati, tetapi simpati itu hanya berupa kecaman belaka, tidak sampai pada tindak nyata. Orang Islam dalam negara nasionalisme disuruh memikirkan diri sendiri, bangsa sendiri, bukan penderitaan yang terjadi dan dialami oleh darah dagingnya sendiri!
Betapa sakitnya jika dunia terbalik kemudian kita berada di Palestina kemudian mendengar bahwa saudara kita sendiri yang ada di Indonesia mengatakan “ah, itu urusan Timur Tengah, bukan urusan dalam negeri kita”. Betapa sakithatinya bukan?! Padahal, sewaktu kesatuan kaum muslimin dalam Kekhilafahan ada sebuah contoh yang mengagumkan mengenai solidaritas umatnya Muhammad.
Di masa Mu’tashim Billah menjabat sebagai Khalifah, ada seorang muslimah yang dizalimi. Ia  ditarik kerudung dan diperkosa kehormatannya oleh penduduk Amuriyah. Diceritakan, setelah mendengar kabar pelecehan itu Khalifah segera mengirimkan surat pada raja Amuriyah. Bahwa. ia akan mengirimkan pasukan yang kepalanya ada di Amuriyah dan ekornya ada di Baghdad. Ancaman itu dibuktikan, sementara kepala pasukannya sudah sampai di Amuriyah, iring iringan pasukan lainnya masih berada di Baghdad. Muslimah yang dizalimi dibebaskan. Amuriyah segera ditundukkan oleh Kekhilafahan Islam.
Hanya untuk menjaga kehormatan satu orang muslimah saja Khalifah sampai mengomandoi penyerangan besar. Lantas, apa yang dilakukan berpuluh-puluh pemimpin negeri Islam? Apa yang dilakukan pemimpin Arab Saudi? Apa yang dilakukan pemimpin Yordania? Apa yang dilakukan pemimpin Brunei Darussalam? Apa yang dilakukan pemimpin Indonesia? Apa yang dilakukan pemimpin Malaysia? Apa yang dilakukan pemimpin Mesir dan lain sebagainya ketika galonan juta darah kaum muslimin ditumpahkan di seluruh penjuru dunia? Di Uzbekistan, saat aktivis Islam ditangkap dan diperlakukan tidak manusiawi; di Chechnya ketika pembantaian dilakukan oleh Slobodan Milosevik; di Palestina ketika Ariel Sharon membombardir Shabra dan Shatilla hingga penembakan Muhammad Aldurra; pembunuhan ratusan santri pesantren di Poso; Pelecehan kaum muslimin di Amerika Serikat, Australia, Inggris sejak tragedi World Trade Center terjadi, pemimpin mana yang bersikap seperti Mutasim Billah??? Jutaan pembantaian tidak membuat satu pemimpin negeri Muslim pun berani mengangkat senjata (kecuali sebagian kecil kaum muslimin yang tergabung dalam komunitas-komunitas politik kaum muslim --yang pada kenyataannya justru dimusuhi oleh pemerintahan nasional negerinya sendiri).
Jika kaum muslim mengambil pemahaman nasionalisme sebagai ikatan, maka kerugianlah yang akan terus terjadi. Contoh yang jelas nampak adalah keharusan seorang muslim untuk membayar passport dan visa Saudi Arabia untuk mengunjungi dan melakukan tawaf (beribadah) di tanah haram: Mekah. Padahal, di masa Kekhilafahan Islam berdiri seluruh kaum muslimin berhak keluar-masuk wilayah Islam manapun termasuk untuk beribadah menuju Mekah (tanpa mengeluarkan sepeser uangpun untuk karcis masuk ke dalamnya).
“Tapi kan, nasionalisme Indonesia adalah nasionalisme yang bermartabat?”
Jika ada orang yang menganggap bahwa nasionalisme Indonesia adalah nasionalisme bermartabat karena nasionalisme Indonesia tidak merugikan bangsa lain; karena nasionalisme Indonesia memiliki egalitarian dan berprinsip pada kesamaan hak antar bangsa untuk saling menghormati, maka hal itu adalah sebuah upaya pemelintiran! Sebab, paham nasionalisme merugikan umat manusia dalam masalah distribusi kekayaan.
Dalam kebaikannya sekalipun, nasionalisme tidak memberikan pemerataan distribusi kekayaan untuk umat manusia. Dalam kemartabatannya pun, tidak ada satupun negara bangsa mau melakukan pemerataan sumber daya alam. Negara miskin seperti Ethiophia, Zimbabwe, Rwanda, tetaplah miskin dalam kesendiriannya.  Sedangkan penduduk Brunei Darussalam, Malaysia, tetap kaya dengan kekayaan alamnya.
Dimana letak nasionalisme yang bermartabat seandainya pertolongan negara-negara yang memiliki kekayaan besar hanya berkisar pada penyaluran sedikit bahan pangan bukannya pembagian distribusi kekayaan alam yang merata? Padahal, tidak ada manusia yang memilih dilahirkan dalam sebuah teritori yang memiliki sumber daya alam yang miskin atau kaya. Bagi saya, nasionalisme bukanlah ide yang fair bagi umat manusia.
“…”
Bagaimana? apakah penjelasan saya cukup mumpuni dijadikan sebagai landasan untuk mengatakan saya tidak ikut upacara bendera karena malas?. Tidak kan?! Bahkan lebih dari itu, kini kalian mengetahui landasan pemikiran yang akhirnya menjadikan saya tidak mengikuti upacara 17 Agustusan di lapangan desa. Bahwa saya tidak mau menghormati bendera, sebab saya tidak mau menghormati sesuatu selain Allah dan yang Allah perintahkan untuk menghormatinya (semisal orang tua). Beginilah saya.
Nah, sekarang adakah kalian mendapatkan kecerahan seperti halnya Saad bin Muadz ketika mendapatkan pencerahan dari Mushab bin Umair ketika berada di kebun kurma?.  
“..”
Ah, saya tidak begitu mau memikirkannya, toh definisi pencerahan pun berbeda di tiap kepala. Saya mengatakan apa yang saya utarakan sebagai pencerahan, sementara –bisa jadi—kalian mengatakan apa yang saya utarakan bukanlah pencerahan. Silahkan memilih, toh manusia dikarunia kemampuan untuk memilih oleh Allah (tentu diembel-embeli oleh konsekuensinya).
Apakah kalian sudah siap dengan konsekuensi atas pilihan kalian? Kalau saya?. … Demi Allah, saya siap!.